“ Cinta tak memberikan apa-apa, kecuali
Keseluruhan dirinya, utuh penuh.
Pun tak mengambil apa-apa, kecuali dari
Dirinya sendiri
Cinta tak memiliki ataupun dimiliki,
Karena cinta telah cukup untuk cinta.
Karya Khalil Gibran,” Begitulah sajak yang terdengar dari bibir manis Lina ketika malam menjelang larut. Perempuan yang kira-kira baru berumur 19 tahun itu tiba-tiba saja gemar membaca sajak-sajak Khalil Gibran ketika ia memasuki bangku perkuliahan. Berbeda dengan sekarang, dulu ketika ia belum mengenal yang namanya cinta ia sangat benci yang namanya puisi. Katanya puisi itu adalah ekspresi orang-orang manja saja. Disetiap ia mendengar lantunan sajak dari teman-temannya, pasti ia marah dan menyuruhnya diam. Katanya ini lah, itu lah.
Semenjak ia jatuh hati kepada lelaki yang ia kenal pertama kali sewaktu ia taaruf kampus dulu, ia langsung saja tersentuh bila mendengar bait-bait puisi dari orang lain. Apalagi lelaki yang ia cintai itu salah seorang mahasiswa yang bergelut di dunia tentang sastra. Dari situlah lambat-laun Lina mengenal makna dari puisi-puisi yang dulu dibencinya itu.
Pernah di suatu malam, tepatnya ketika rembulan tampak bersinar lembut di atas gulungan ombak pelan di suatu pantai di pinggir kota. Ia tampak terlihat begitu bahagia duduk berdampingan dengan kekasih hatinya itu. Dengan sangat lembut angin malam menerpa tubuh Lina membuat helaian rambutnya sesekali menyapa wajah kekasihnya itu. Lembut sapaan angin malam, namun tak dapat mengalahkan mesrahnya belaian yang Lina rasakan di malam itu. Betapa tidak, lembut tangannya hampir tak pernah lepas dari genggaman tangan kekasihnya yang akrab disapa Vino itu. Sesekali kata-kata mesrah pun terdengar di antara kedua telinga mereka membuat bisikan angin malam tak lagi dihiraukannya. Namun, tiba-tiba saja Lina tersentak kaget ketika kemesraan mereka di usik dengan langkah seorang wanita cantik bergaun merah datang menghampiri mereka.
Sejenak semuanya terdiam dan saling menatap. Raut ketakutan pun tersirat di wajah Vino kekasih Lina. Hati tak percaya sepertinya tergambarkan pula melalui pandangan wanita bergaun merah itu. Terlebih Lina, ia hanya bisa terdiam dan pandangannya terus saja tertuju pada Vino dan wanita yang tak dikenalnya itu.
“ Vino, wanita ini siapa. Dan, mengapa kamu ada bersama dia,” sapa wanita yang kedengarannya tak mengerti dengan apa yang ditatapnya.
“ Eh Lisa. Kau ada di sini juga,” gugup Vino yang sepertinya tak tahu harus berbuat apa. “ Lina, kenalkan, ini Lisa. Tunanganku,” lanjut Vino yang tak tahu harus berkata apa lagi.
Seketika Lina terperangah menatap wajah Vino. Kedua telapak tangannya mencoba menutupi bibir lembutnya yang mulai terlihat kaku. Ia masih saja belum percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Begitupun dengan wanita yang rupanya tunangan Vino itu, ia hanya terdiam dan terus menatap wajah Vino dan Lina secara bergantian.
“ Kamu teman Vino yah,” sapa Lisa sekedar mengusir ketegangan yang mulai menyusup di antara mereka. Mungkin tak mendengar, Lina hanya mampu terdiam seribu bahasa. Lambat laun cahaya lampu di sepanjang bibir pantai itu mulai terlihat menyatu terbias di genangan air mata lina. Perlahan-lahan genangan itu menjadi bulir-bulir air mata dan menetes satu persatu.
Sejenak semuanya terdiam dan saling menatap. Raut ketakutan pun tersirat di wajah Vino kekasih Lina. Hati tak percaya sepertinya tergambarkan pula melalui pandangan wanita bergaun merah itu. Terlebih Lina, ia hanya bisa terdiam dan pandangannya terus saja tertuju pada Vino dan wanita yang tak dikenalnya itu.
“ Vino, wanita ini siapa. Dan, mengapa kamu ada bersama dia,” sapa wanita yang kedengarannya tak mengerti dengan apa yang ditatapnya.
“ Eh Lisa. Kau ada di sini juga,” gugup Vino yang sepertinya tak tahu harus berbuat apa. “ Lina, kenalkan, ini Lisa. Tunanganku,” lanjut Vino yang tak tahu harus berkata apa lagi.
Seketika Lina terperangah menatap wajah Vino. Kedua telapak tangannya mencoba menutupi bibir lembutnya yang mulai terlihat kaku. Ia masih saja belum percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Begitupun dengan wanita yang rupanya tunangan Vino itu, ia hanya terdiam dan terus menatap wajah Vino dan Lina secara bergantian.
“ Kamu teman Vino yah,” sapa Lisa sekedar mengusir ketegangan yang mulai menyusup di antara mereka. Mungkin tak mendengar, Lina hanya mampu terdiam seribu bahasa. Lambat laun cahaya lampu di sepanjang bibir pantai itu mulai terlihat menyatu terbias di genangan air mata lina. Perlahan-lahan genangan itu menjadi bulir-bulir air mata dan menetes satu persatu.
Tetesan-tetesan air mata Lina pun telah menyatu bersama putihnya pasir pantai. Meskipun berlinang, air mata Lina pun tak mampu membasahi dan meredam panas hati yang dirasakannya. Sepertinya ia tak habis fikir, bahwa lelaki yang selama ini ia cintai rupanya sebentar lagi sah menjadi miliknya orang lain. Ingin memutuskan untuk beranjak dari tempat itu, namun kedua kaki Lina terasa berat untuk diangkatnya. Ia masih saja belum mampu menerima kenyataan yang datang menyadarkannya. Sepatah kata pun tak mampu terdengar di mulut perempuan malang itu. Dan begitu pun dengan Vino dan Lisa, mereka hanya terdiam entah apa di benak mereka saat itu.
Meskipun ketegangan terjadi, malam masih saja meniupkan udara dingin dengan pelan. Orang yang tengah berada di pantai itu pun merasa tersuntik jarum es yang menembus kulit hingga ke sum-sum tulang mereka. Begitupun dengan gulungan ombak yang tak bosan mendengarkan suaranya kepada makhluk lain bahwa dialah makhluk yang paling setia.
Entah lantaran semilir angin ataukah suara debur ombak menyapa, tiba-tiba saja suara pedih terdengar dari mulut Lina yang lama membisu.
“ Vino, ternyata kamu sudah bertunangan dengan perempuan itu,” telunjuk Lina terarah kepada Lisa yang masih tampak tak mengerti dengan apa yang terjadi sebenarnya. “ Kamu tega Vin, rupanya kamu hanya ingin mempermain-mainkan perasaanku saja. Terima kasih telah menyakitiku. Dan anggaplah tamparan ku itu adalah kado pernikahanmu nanti,” kata terakhir Lina setelah melayangkan telapak tangan kanannya ke pipi kiri Vino. Lalu ia pun berlari pelan menjauhi bibir pantai yang telah jadi saksi atas kepedihan hatinya.
“ Vino, rupanya kamu telah menjalin hubungan dengan perempuan lain. Kamu sadarkan, minggu depan kita akan menikah. Dasar laki-laki brengsek,” kalimat yang dilontarkan Lisa pada Vino setelah melihat Lina telah jauh dari pandangannya.
“ Dengarkan aku dulu sayang. Perempuan itu hanya teman aku. Dan aku tak punya hubungan apa-apa dengan dia,” Vino pun berusaha menutupi kesalahannya.
“ Aku ini perempuan Vino. Dan aku dapat merasakan kepedihan hati wanita itu. persis dengan apa yang aku rasakan sekarang ini. Vino, kalau begitu pernikahan kita dibatalkan saja. Aku tak menyangka, ternyata kamu tak berbeda dengan laki-laki yang lain. Dasar laki-laki pembohong. Dan, pengikat cinta kita ini aku kembalikan padamu,” tutur Lisa sesaat setelah melemparkan sebuah cincin ke tubuh Vino.
“ Lisa, dengarkan penjelasanku dulu. Aku sayang sama kamu. Dan tolong jangan batalkan pernikahan kita. Apa kata orang tua kita nantinya,” mohon Vino sembari memegang kedua tangan lisa.
“ Maafkan aku Vin, ini semua adalah hasil yang kamu tanam sendiri. Selamat tinggal,” kalimat terakhir Lisa pun mengawali langkahnya meninggalkan Vino sendiri.
Dengan memandangi Lisa yang perlahan-lahan mulai menghilang di balik kegelapan malam, Vino kembali tertunduk diam. Lelaki itu hanya mampu memandangi kilau cincin pengikat cintanya yang tergeletak di atas pasir pantai begitu saja.
*****
Memang benar kata penyair, puisi itu adalah ungkapan perasaan seseorang. Entah itu perasaan bahagia terlebih-lebih di kala hati sakit bagai tersayat sembilu. Semenjak kejadian di malam itu, Lina dapat melahirkan beberapa puisi. Dan berkat puisinya itu, ia dengan mudah melupakan kenangan yang pernah ia rajut bersama Vino. Meskipun ia sendiri telah memutuskan untuk tidak akan pernah mencintai lelaki lagi.
Begitu pun dengan Lisa. Semenjak ia memutuskan membatalkan pernikahannya dengan Vino, ia sudah tidak pernah lagi jatuh hati kepada setiap lelaki yang berniat ingin mengisi kehampaan di setiap relung-relung hatinya. Bahkan anehnya, meskipun pernah tersakiti oleh lelaki yang sama, di antara Lisa dan Lina memutuskan untuk saling bersahabat dan terlihat melebihi akrabnya persahabatan kebanyakan orang. Hampir tiap hari mereka bersama. Entah itu di kampus, di rumah Lina ataukah terlihat di rumah Lisa sendiri.
Akibat eratnya kedekatan mereka, terkadang mereka jadi bahan pembicaraan orang-orang. Banyak yang mengatai mereka lesbian. Mengapa tidak, banyak teman-teman semahasiswanya yang pernah melihat mereka berduaan di kamar kost-kostan. Dan ditambah lagi dengan cara mereka berteman yang tak ubahnya dengan sepasang kekasih. Tapi, meskipun cerita-cerita miring itu sudah terdengar ke telinganya, namun mereka hanya cuek tak merespon. Ah, entahlah semua itu hanya mereka berdualah yang tahu.
“ Lisa, aku tahu semenjak kedekatan kita ini, orang-orang telah menjadikan kita buah cerita. Apakah kamu tak merasa risih akan semua ini,” gumam Lina ketika mereka sedang berada di pantai tampat mereka pertama berkenalan.
“ Sebenarnya aku sempat merasa tidak enak dengan semua itu. Tapi, kamu tahu sendirikan perasaanku sekarang seperti apa kepadamu. Semenjak kejadian beberapa bulan yang lalu di pantai ini, aku telah memutuskan untuk tidak berpacaran lagi dengan para lelaki,” balas lisa sambil memegang erat kedua telapak tangan lina.
“ Jujur, apa yang kamu rasakan sama dengan apa yang aku rasakan sekarang ini Lisa. Meskipun Vino itu adalah lelaki pertama yang pernah mengisi hatiku. Tapi, semenjak aku tahu bahwa dia ternyata lelaki pembohong, dari situlah aku menganggap bahwa tidak ada lelaki di dunia ini yang dapat setia. Dan aku pun memutuskan untuk tidak membuka pintu hatiku pada kaum lelaki. Jadi biarlah mereka mau berkata apa tentang kita. Yang penting kita tidak mengikuti sifat-sifat buruk yang ada pada para kaum lelaki. Lisa, kamu mau janjikan, tidak akan menghianati hubungan kita ini,” harap Lina dengan terus memandangi kedua bola mata Lisa yang sayup. Bukan, ucap balasan keluar dari mulut Lisa, namun setelah mendengar kata-katanya, tubuh Lina di peluknya erat-erat.
Entah menyaksikan kemesraan sesama wanita itu, hembusan angin malam yang lembut mulai membisik ke telinga mereka. Dan mereka pun seakan ingin terlarut bersama sepoinya angin malam itu. Namun berbeda dengan hempasan ombak, seketika saja terdengar begitu keras membuat mereka tersentak kaget.
“ Lina, sepertinya cuaca di malam ini nampak tidak baik. Perasaanku tidak enak. Kita pulang saja yah,” Lisa mencoba menenangkan perasaan kagetnya sembari melihat ke atas langit.
“ Baiklah, perasaanku juga tidak enak mendengar hempasan ombak itu,” tutur Lina yang rupanya berperasaan sama seperti Lisa.
Selepas percakapan itu, mereka pun perlahan-lahan melangkah menjauhi bibir pantai tempat mereka tadi. Lambat laun suara hempas ombak pun mulai tak terdengar lagi. Setelah tiba di tempat di mana motor mereka terparkir, Lina terlihat memasang helm sebelum mereka beranjak dari tempat itu. Lisa yang hanya memegangi helmnya saja pun ikut naik di atas boncengan motornya. Setelah motornya meraung-raung yang seakan-akan sudah tak sabar lagi untuk menelusuri sepanjang jalan, perlahan-lahan roda ban motor pun berputar.
Jauh sudah motor mereka menelusuri sepanjang jalan. Sesekali mereka melewati baleho-baleho para calon gubernur yang sebentar lagi akan bertarung memperebutkan meja pemerintahan. Secara remang-remang mereka melihat tulisan-tulisan yang dijanjikan para calon gubernur itu. Ada yang menjanjikan kesejahteraan untuk rakyat, pembangunan berlanjut, dan ada pula yang akan mengabdi untuk semua. Semua itu hampir mereka tak ingin menghiraukannya. Entah itu akibat mereka yang sudah tak percaya lagi akan semua janji-janji para kaum lelaki lagi.
Sesekali mereka memperlambat laju motor mereka disebabkan oleh jalan yang masih banyak berlubang. Lalu pelukan Lisa pun semakin erat ke tubuh Lina.
“ Sebenarnya kapan jalan-jalan ini akan diperbaiki. Padahal janji mereka sebelum duduk di pemerintahan itu masih terngiang di telinga kita. Dasar kaum lelaki, bukan hanya di dunia pacaran saja ia pandai berbohong, tetapi di dunia politik juga”.
“ Malah lebih parah,” balas lisa sambil tertawa bernada ejek. Lalu tawa Lina pun menyusul memecah keheningan malam.
Setelah melihat aspal jalan mulai membaik, laju motor Lina pun kembali terpacu. Angin malam pun semakin terasa menyuntik ke tubuh mereka. Semakin jauh semakin melaju pula motor mereka itu. Bahkan kecepatan motor mereka itu hampir melebihi 100 km/jam. Semakin laju semakin nikmat pula yang mereka rasakan. Kini mereka seakan melaju di atas awan. Dan tak satu pun halangan yang akan menjadi rintangan mereka selama di perjalanan. Namun tepat di depan salah satu mesjid di tengah kota, tiba-tiba saja suara ledakan terdengar dan seakan ingin membangunkan dewi malam dari lelapnya.
Puing-puing kap motor terlihat berserakan di mana-mana. Helm Lisa yang tadinya hanya di letakkan di job motor kini terlihat terpelanting di hitam aspal jalan. Dan begitu pun motor mereka itu, hampir terlihat seperti bukan motor lagi. hancur. Perlahan-lahan jeritan panggilan mulai terdengar. Suara itu seperti mencari-cari di mana letak kekasihnya berada. Dan tak lama kemudian, Lina yang wajah yang tadinya putih halus kini seketika berubah merah akibat kucuran darah di seluruh tubuhnya. Dia menjerit kesakitan, sambil mencari di mana Lisa berada.
Di tempat yang lain, kira-kira 20 meter dari tempat Lina berada, telihat Lisa terbujur kaku sepertinya tak bernyawa lagi. Hampir di sepanjang jalan, darah terlihat mengalir di mana-mana. Serpihan-serpihan kap motor berserakan di sepanjang jalan. Dan, suara jeritan Lina terus terdengar. Perempuan itu terus memanggil-manggil Lisa yang ia tak tahu nasibnya kii seperti apa.
*****
Beberapa jam kejadian itu berlalu. Namun, tak satu pun orang lain melihat kejadian naas yang menimpa mereka. Lina yang masih terus mencoba melawan sakaratul maut yang seakan ingin menemuinya di malam itu terus memanggil-manggil teman hidupnya, Lisa.
“ Lisa, kamu di mana. Tolong jangan tinggalkan aku sendiri. Lisa, Lisa,” jeritan suara Lina terus mencoba melangkah menelusuri gelapnya jalan.
Meskipun Lina terus mencoba mencari keberadaan Lisa, namun ia tak mampu menemukannya. Meskipun Lisa yang di carinya tak jauh dari tempat ia berdiri. Tiba-tiba saja Lina hampir putus asa, ketika di depannya melintas bayang Vino yang siap ingin merangkul tubuhnya.
Posting Komentar