Pada zaman dahulu, di daerah Kudus tinggallah Kiai dan Nyai Gede Keringan bersama seorang gadisnya bernama Ni Branjung. Setelah Ni Branjung tumbuh menjadi gadis remaja yang molek, timbullah kerinduan Kiai Keringan hendak mengasuh seorang anak lelaki yang tampan. Untuk. itulah Kiai Keringan dan istrinya selalu bertafakur, memohon ridha Allah agar dikabulkan keinginannya. Berkat doanya yang khusyuk, pada suatu hari ditemukanlah seorang bayi lelaki dengan perantaraan gaib Sunan Kudus yang mengatakan bahwa sesungguhnya bayi itu adalah putra Sunan Muria, salah seorang penyiar agama Islam yang sudah terkenal. Bayi itu berselimutkan kain kemben yang berasal dari kain penutup dada sang ibu.
“Asuhlah dengan bijak, agar kelak menjadi anak yang berbakti kepada orang tua dan agama. Adapun kemben itu kelak akan menjadi senjata yang ampuh untuk mengatasi setup bahaya yang mengancamnya,” kata Sunan Kudus seperti dimimpikan oleh Kiai Gede Keringan.
Tentu saja Kiai dan Nyai Gede Keringan sangat berbahagia dan berjanji akan melaksanakan amanat itu sebaik-baiknya. Sadar bahwa mereka sendiri hanyalah orang desa, bersepakatlah untuk memberi nama sang Dengan penuh kasih sayang, suami istri itu mendewasakan Ni Branjung dan Saridin sebagai kakak beradik hingga keduanya berumah tangga.
Sepeninggal sang Kiai, Saridin dan Ni Branjung hanya memperoleh harta warisan berupa sebatang pohon durian yang selalu lebat buahnya. Selama bertahun-tahun mereka pun bersepakat membagi hasil penjualan buah durian itu secara adil untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga masing-masing. Akan tetapi, suami Ni Branjung merasa tak pugs dan ingin memiliki hasil sebanyakbanyaknya dari pohon itu. Pada suatu hari, berkatalah dia kepada Saridin.
“Adikku, mulai sekarang kita menjual durian itu sendirisendiri supaya tidak repot menghitungnya. Kamu berhak menjual seluruh durian yang jatuh di siang hari, dan saga akan menjual seluruh durian yang jatuh setiap malam.”
Mendengar tawaran itu, tahulah Saridin akan keserakahan kakak iparnya; biasanya durian yang masak akan berjatuhan di malam hari. Namun, Saridin dengan ikhlas menerima tawaran itu karena dia pun yakin akan kebesaran dan keadilan Tuhan dalam membagikan rezeki-Nya. Ujarnya dengan lembut, “Baiklah Kakak, kalau hal itu memang sudah menjadi keinginanmu. Mulai besok aku sendiri akan memungut durian yang jatuh di siang hari.”
Keikhlasan hati Saridin mendapatkan ridha Allah sehingga banyaklah durian masak yang berjatuhan di siang hari. Hal itu menjadikan panasnya hati suami Ni Branjung yang menyadari siasatnya tidak berhasil. Selang beberapa waktu kemudian, datanglah suami Ni Branjung ke rumah Saridin untuk bertukar waktu. Harapannya ialah memperoleh banyak durian yang berjatuhan di siang hari. Akan tetapi, harapan itu justru menambah kekecewaannya karena ternyata tak banyak durian masak yang jatuh di siang hari.
Pada suatu malam, timbullah niatnya yang jahat. Dengan mengendap-endap dan berkerudung kain loreng, pergilah suami Ni Branjung ke pohon durian itu. Setelah melihat datangnya Saridin maka berteriaklah suami Ni Branjung menirukan auman harimau loreng dengan maksud menakuti-nakuti Saridin. Namun, apakah yang terjadi?
Saridin yang terkejut tidak segera berlari, malahan melepaskan senjata goloknya dengan tangkas sehingga tewaslah suami Ni Branjung. Tentu saja kejadian itu menggegerkan banyak orang, dan segera dilaporkan oleh punggawa desa kepada Adipati Pemantenan di Kadipaten Pati.
Dalam persidangan di kadipaten, diputuskan hukuman gantung bagi Saridin karena terbukti bersalah membunuh kakak iparnya. Namun, Saridin membela diri dengan santun, “Ampun Kanjeng Adipati, niat hamba tidaklah membunuh saudara hamba sendiri, tetapi membunuh seekor harimau yang mengancam diri hamba. Oleh karena itu, hamba pun mohon dibebaskan dari hukuman
itu. 11
Mendengar alasan itu, sang Adipati merasa ragu hendak melaksanakan hukumannya. Namun, selaku seorang penguasa, sulitlah dia mencabut keputusan itu. Kemudian, sang Adipati berkata dengan lembut, “Baiklah Saridin, hukuman itu hanyalah sebuah tipuan yang berupa ayunan. Jadi, wajiblah kamu menerimanya.”
Saridin percaya sepenuhnya pada kata sang Adipati, padahal niat Adipati Pemantenan ialah melaksanakan hukuman gantung itu dengan sesungguhnya demi kewibawaan seorang penguasa. Akan tetapi, hukuman itu menjadikan banyak orang terheran-heran. Di matamereka, Saridin justru tampak tersenyum-senyum di tiang gantungan seperti seorang bocah yang sedang berayunayun.
Atas perintah sang Adipati, Saridin dibatalkan dari hukuman gantung dan dimasukkan ke sebuah penjara yang kokoh besi-besinya. Saridin pun menurut perintah itu sambil memohon sekali-sekali diizinkan pulang menjenguk istrinya. Sekian hati kemudian, Saridin memohon kesempatan pulang ke rumahnya. Akan tetapi, jangankan dibukakan pintu oleh para sipir penjara, bahkan izin pun tidak diperolehnya. Sadarlah Saridin bahwa dirinya telah tertipu.
Pada suatu malam yang sepi, Saridin mengamalkan ilmu kesaktiannya sehingga terbebaslah dari rumah penjara itu tanpa diketahui para penjaga yang selalu siaga setiap saat. Akan tetapi, lelaki itu tidak langsung pulang ke rumahnya. Dalam perjalanan, terpikir olehnya hendak berguru kepada Sunan Kudus yang saat itu sudah terkenal harum namanya sebagai seorang penyiar Islam.
Di pesantren Sunan Kudus, terkenallah Saridin yang sakti dengan tindakannya yang aneh-aneh, seperti menimba air sumur dengan keranjang dan menyelinap ke dalam kakus. Hampir semua tindakan Saridin menjadikan sedih dan susahnya Sunan Kudus yang sadar bahwa kesaktian Saridin menimbulkan banyak huru-hara yang meresahkan orang banyak. Pada suatu hati, berkatalah Sunan Kudus, “Hai, Saridin, engkau adalah muridku yang gagah perkasa dan sakti. Tetapi, ketahuilah bahwa di sini bukan tempatnya orang memamerkan kesombongannya. Kalau tidak mau berubah sikap, pergilah dari pesantren ini.”
Mendengar nasihat itu, Saridin tetap tak beranjak dari tempatnya sehingga diusirlah beramai-ramai oleh para santri dan penduduk sekitarnya. Setelah merasa terdesak,barulah Saridin terpaksa berlari sambil mengejek orangorang yang mengejarnya.
Ketika sampai di sebuah pasar, Saridin terns saja’ berlari dan mengumpat-umpat sehingga mengejutkan orang-orang yang melihatnya. Banyak perempuan di pasar itu yang segera bubar karena ketakutan. Di antara mereka ada yang bertanya kepada Sunan Kudus, “Siapakah gerangan orang gila yang mengganggu pasar itu, Kanjeng Sunan?”
“Siapa yang dimaksud? Apakah lelaki yang gagah perkasa itu? Oh, dia bukan orang gila. Dia itu seorang muridku yang pandai dan sakti. Sayang sekali, orangnya sombong dan nakal. Namanya Syekh Jangkung, sedangkan aslinya entahlah. Dulu orang-orang memanggilnya Saridin. Biarlah dia pergi, mudah-mudahan masih sempat menyadari kesalahannya.”
Orang pun kagum menyaksikan kebesaran hati Sunan Kudus dan segera melupakan kenakalan-kenakalan Saridin yang kemudian terkenal dengan sebutan Syekh Jangkung.