eka_fajar

Aku duduk termenung ditengah keramaian kota. Hanya memandangi kendaraan yang berlalu lalang, duduk di bawah kerlipan bintang. Hanya ditemani boneka mickyku yang sudah usang dan kotor karena debu dan tanah. Selama ini hanya boneka mickyku yang setia menemaniku di pinggiran jalan,dia rela usang dan kotor hanya demi aku. Malam ini, dia masih setia menemaniku di daerah kumuh. Aku masih memandangi langit, tampak bintang berkelipan meramaikan suasana malam yang cerah ini. Aku terisak mengingat kenangan indah saat bersama bunda.“ bunda, apakah kau lihat anakmu yang kumuh ini, rambut usang yang tak pernah kau sisir lagi. Kulit hitam yang tak pernah tersentuh lagi oleh perawatanmu. Aku yang sekarang bodoh karena tak pernah mendapat ilmu. Aku rindu bunda. Aku rindu saat bunda belai aku,saat bunda dongengkan aku sebelum tidur,saat bunda sayangi aku. Kini anakmu yang malang ini merana karena dera kehidupan yang kejam.”Bintang-bintang yang berkelip seketika redup. Mungkin mereka ikut merasakan pahitnya hidupku ini. Mungkin juga mereka ikut menangis menahan sesaknya hidup yang kejam ini. Sungguh aku rindu bunda. Angin berhembus pelan,menggoyangkan khorden kamarku. Malam ini terasa begitu indah. Bunda kembali mendongengkan seribu ceritanya sebelum aku tertidur. Belaian lembut tangannya menyentuh ujung rambutku. Kecupan manjanya menyentuh keningku. Aku masih mendengarnya penuh seksama.“ seorang putri yang cantik jelita kini tumbuh dewasa. Putri yang baik, putri yang santun dan dermawan . putri yang selalu sabar dengan musibah yang menimpanya. Putri yang tidak pernah sombong dengan kehidupannya yang sempurna.”“ andini ingin seperti putri dalam dongeng ini bunda.”“ andini ingin seperti putri dalam dongeng ini?”“ iya. Andini ingin hidup bahagia seperti putri dongeng ini. Putri yang tak pernah sombong.”“ asal kamu tahu sayang,” bunda membelai lembut rambutku” putri dalam dongeng ini adalah kamu sayang. Kelak kamu akan hidup bahagia.”Malam ini benar-benar indah saat bersamanya. Malam penuh kasih sayang. Akupun terlelap dalam pangkuan dan belaian lembutnya. Pagi ini cerah sekali. Secerah wajahku yang cantik. Aku menyiapkan segala perlengkapan sekolahku, bunda masih sibuk mengurus ayah. “ ah, ayah sudah besar kenapa harus bunda yang memakaikan dasi untuk ayah?’“ ye. Andini iri ya sama ayah?”“ engak ah.”Bunda hanya tersenyum tipis melihat aku yang ngotot mempertahankan prinsipku.“bunda, andin berangkat dulu yah” aku mencium tangan dan kening bunda. Ini ritualku sebelum berangkat sekolah.Ayahpun ikut mengecup kening bunda bahkan bundapun juga mencium tangan ayah.Aku tak tahu apa maksud itu. Mungkin karena aku masih terlalu kecil untuk mengerti semua urusan orang dewasa.Aku berlari meninggalkannya. Ayah selalu mengatntarkanku ke sekolah sesibuk apapun itu. Melihat sekeliling jalan, tampak anak-anak jalanan yang usang dan kotor berdiri dipinggirin jalan meminta-minta. Sungguh kasihan aku melihatnya.“ayah, andin tak ingin seperti mereka yang mengemis.”Ayah hanya tersenyum tipis mendengar aduanku. Dibelainya lembut kepalaku yang berbalut kerudung biru muda. “selagi ALLAH masih menyayangi andin itu tak akan terjadi sayang, dan selagi ayah sama bunda bersamamu.”Aku tersenyum lebar ke arahnya“berarti jika ALLAH tak lagi sayang andin, ALLAH akan menelantarkan andin begitu saja yah?”Ayah kembali tersenyum, menggeleng.“ ALLAH MAHA Pengasih andin, ALLAH tak mungkin menyengsarakan hambaNYA.”Aku menganguk, itu tanda aku memahami semuanya.“ belajar yang rajin sayang. Nanti ayah jemput setelah ayah selesai kerja.” Di kecupnya keningku penuh kasih sayang.Aku lambaikan tanganku kearahnya. Aku benar-benar menyayangi mereka. Siang itu perasaanku kacau, entah mengapa butiran bening ini tiba-tiba membasahi pipiku. Benar-benar peristiwa yang tidak pernah aku inginkan. Bunda jatuh sakit dan sekarang koma.Aku kembali terisak melihat tubuh bunda yang terkulai lemas di atas ranjang rumah sakit. Aku tak ingin melihatnya sakit. Wajahnya pucat sekali, dan baru kali ini aku merasa sedih karena bunda. Aku sayang bunda dan aku ingin selalu menemani bunda disini tak ingin meninggalkannya sendiri dalam kesakitan dan kesedihannya. Karena selama ini bunda tak pernah meninggalkanku bunda selalu menyayangiku. “bunda, andin rindu bunda. Andin kangen belaian dan kecupan kasih sayang bunda. Andin kangen dongeng bunda yang setiap malam bunda lakukan sebelum andin tidur. Bunda ayolah bangun, andin tidak bisa melihat bunda seperti ini terus.”Aku kembali terisak. Ayah menenagkan aku, dan mengajakku pulang ke rumah.“ andin sayang, kita pulang yuk. Kan dari kemarin andin sudah jagain bunda jadi sekarang andin istirahat saja di rumah, biar andin tidak sakit.”Namun aku menggelengkan kepala. Tak ingin jauh dari bunda. Ayah tetap membujukku agar aku istirahat di rumah.“andin sayang, andin berdo’a saja sama ALLAH, meminta kesembuhan untuk bunda. Andin sayang bundakan??”Aku hanya mengangguk pelan, kali ini aku dengar perkataan ayah. Menuruti untuk pulang kerumah.“ ayah yang akan jaga bunda di sini,nanti kalau bunda sudah sadar ayah kasih tahu andin.Sekarang andin pulang yah. Jangan lupa makan sama istirahat yang cukup.Aku hanya mengangguk. Melangkah meninggalkan bunda. Hanya bisa bicara dengan batinku sendiri,terasa sesak. Sesampai dirumah aku rebahkan badanku diatas ranjang yang penuh kenagan dengan bunda.Hari-hariku semakin muram dengan kesedihan. Sudah hampir satu bulan bunda tak kunjung sadar. Aku rutin menemaninya di rumah sakit setelah pulang sekolah. Ayah juga mengambil cuti untuk selalu menjaga bunda. Aku benar-benar rindu dengannya. Kapan aku bisa bersua denganngya lagi?.Bahkan ketika umurku menginjak Sembilan tahun, bunda masih tak sadarkan diri. Seharusnya waktu itu aku bahagia merayakannya dengan ayah dan bunda, tetapi justru sebaliknya. Ayah hanya memberikanku sebuah buku yang menarik. pagi itu aku hanya bisa menatapnya kelu. Bunda tak bisa apa-apa sekarang. Hanya terdiam mugkin menahan sakit yang sangat sakit untuk dirasakan. “bunda andin benar-benar rindu bunda. Kapan bunda sembuh? Padahal setiap kali andin berdo’a untuk kesembuhan bunda pada ALLAH.” Aku kembali terisak, ayah menatapku dengan tatapan kosong mungkin sedih juga melihat aku yang selalu berharap bunda sembuh.Tiba-tiba, jari bunda bergerak pelan, aku terdiam melihat keajaiban itu.“ayah, lihat jari bunda bergerak, apakah itu tandanya bunda sadarkan diri?”Ayah bergegas memanggil dokter. Ini benar-benar keajaiban untuk bunda.
eka_fajar

MALAM ini hujan turun lagi, menyirami hatiku dan Bunda yang telah lama kekeringan oleh kenangan. Kenangan yang ingin kulupakan bersama Bunda, kenangan yang telah melukai hati kami. Luka yang mampu mencekik leher kami berdua dan akhirnya membunuh kami.
“Tor cepat masuk. Hujannya semakin lebat. Nanti kamu masuk angin,” teriak Bunda dari balik bambu yang kusebut rumah. “Iya, sebentar lagi Bun, Toro masih pengin di sini,” ujarku menenangkan Bunda. Aku mulai melamun, membayangkan betapa buruknya nasibku dan Bunda. Itu semua terjadi karena ayah. Ayah yang ingin kubunuh suatu saat nanti untuk membalas sakit hati. Ayah telah membuang kami ke jalan hanya untuk seorang janda beranak satu.
Hal indah yang kualami direnggut tanpa sisa. Seandainya saat itu aku tahu apa yang terjadi, aku ingin mencekik ayah hingga tak bernyawa lagi. Sayang, saat perceraian tersebut terjadi, aku masih berusia tiga tahun dan aku tak tahu apa arti perceraian. Hingga akhirnya, kini kutahu, perceraian itu membawa kehancuran untuk hidupku sekarang.
“Toro ayo masuk. Anginnya udah semakin kencang, Tor,” teriak Bunda sekali lagi. Bunda berhasil membuyarkan lamunanku. “Iya Bunda, Toro masuk,” kataku sambil melangkahkan kaki masuk ke rumah. Kutatap wajah tua Bunda, tanpa kusadari Bunda juga menatapku.
“Kenapa kamu Tor, kok ngeliat Bunda kayak gitu,” tanya Bunda heran.
“Toro cuma bangga sama Bunda. Toro janji selalu sayang dan jagain Bunda.”
“Sudahlah, cepat tidur. Sudah malam,” kata Bunda sambil membuka pintu.
“Loh, Bunda mau ke mana?” tanyaku heran.
“Bunda mau mengambil air wudu,” jawab Bunda bersahaja.
Melihat wajah Bunda seperti itu, aku semakin geram kepada ayah. Ingin rasanya kumaki saat ini. Sebenarnya, aku merasa iri kepada kalian semua yang hidup bahagia dengan kehangatan dalam keluarga. Sementara itu, aku dan Bunda hanya mampu berdiri di kehidupan kelam. Namun, aku harus bertahan demi Bundaku tercinta. Kutatap wajah Bunda saat dia bersujud kepada Ilahi. Tanpa terasa, air mata ini terjatuh. Semakin deras, sederas hujan di luar sana. Kucoba membendung air mataku, tapi tak bisa.
“Kamu kenapa, Tor?” tanya Bunda yang tanpa kusadari telah memelukku.
“Aku sayang Bunda. Aku janji membalas perbuatan ayah suatu saat nanti,” teriakku memecah keheningan. Bukan maksudku membentak Bunda. Tapi, aku emosi, emosi dan benar­-benar emosi jika ingat kata “ayah”.
“Sudahlah, Tor. Dia itu ayah kamu. Kamu nggak boleh menghujat ayahmu sendiri. Istigfar, Tor. Kalau sampai terulang, Bunda akan marah sama kamu!” bentak Bunda kepadaku. Aku tertunduk, tanganku merangkul tubuh rapuh Bunda. Aku menangis di pundaknya. ***

eka_fajar

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah paya (pula).(QS. Al AhQaaf 46:15)
Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu. (QS. Luqman 31:14)
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. Al Isra' 17:23)
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah; Wahai Tuhanku, kasihilah orangtuaku, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil. (QS. Al Isra' 17:24)
Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Luqman 31:15)
                         *****
"Puspa Thea, dimana dikau Mba'?, kenapa tak ada khabar beritanya?". Nisa bertanya-tanya dalam hati seraya mencermati surat-surat sahabatnya. Sudah hampir tiga bulan ini Mba' Pupu tak pernah lagi mengiriminya e-mail. Perlahan dibacanya surat terakhir wanita lembut itu sebagai pelepas rindu. 
Date: Sat, 13 Oct 2001
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Pa khabar Sa? Mba' kangen banget dech. Semoga Allah yang Maha Penyayang selalu melimpahkan kasih sayang-Nya buat Nisa.
Sa.. pedih.. perih.. sakit.. rasanya kalau Mba' baca berita tentang saudara-saudara kita di Afghan, rasanya Mba' ingin sekali berbuat sesuatu untuk mereka, tapi.. Mba' cuma bisa berdo'a agar Allah yang Maha Kuasa menolong saudara-saudara kita itu. Usaha lain yang bisa Mba' lakukan sekarang mempersiapkan putra-putri Mba' jadi hamba Allah yang di hati mereka nggak ada cinta kecuali cinta pada Allah, do'akan Mba' yach.., biar Mba' bisa jadi ibu yang baik, dan Allah berkenan menitipkan anak-anak yang kelak jadi mujahid / mujahidah.
Sa sehat, kan?. Salam sayang Mba' selalu buat Nisa.
Semoga rasa saling menyayangi ini mengantarkan kita jadi hamba yang dicintai Allah, amin.
Wassalaamu'alaikum Wr. Wb.
Mba'mu.. yang selalu kangen padamu, kapan yach Allah mempertemukan kita?..

Nisa menatap lekat e-mail tersebut, terbayang dalam benaknya hanya menjawab singkat surat itu. Ia bermaksud hendak mereplay kembali, namun tiba-tiba Ayu datang menjemputnya. Mereka janjian ke rumah Cathy pagi ini.
                       *****
"Ayah.. Ibu.. jangan bertengkar dooong! aku jadi pusiiing..." Teriak Cathy berusaha menghentikan pertikaian orangtuanya, namun mereka tak juga mau berhenti. Pertengkaran itu terjadi karena Ibunya tidak memperkenankannya berjilbab.
"Kamu masih muda nak.., belum pantas mengenakan jilbab!, rambut bagus kok ditutupi, mana ada pemuda zaman sekarang melirik wanita yang hanya kelihatan wajah dan tangannya? kalau Cathy nggak laku bagaimana? mau jadi perawan tua?!. Wanita berjilbab itu harus baik prilakunya, eh..Cathy tingkahnya masih begini begitu.. jangan kasi malu Ibu..!"  
Cathy tidak terima disuruh melepas jilbabnya, namun Ibunya terus mendesak, buntut-buntutnya ia berkata, "Ibu jahat...," Ayah datang membela, "Biarlah Bu.., seharusnya kita bangga punya anak yang mau menutupi auratnya.."
Ibu merasa terpojok dan balik memarahi Ayah, maka terjadilah pertengkaran itu. Hal ini berulangkali terjadi sejak Cathy mengenakan pakaian yang disyariatkan Allah.
"Kita ngobrol di luar aja yuk?..," Cathy mengajak Ayu dan Nisa ke halaman rumahnya yang luas,  mirip taman bermain kanak-kanak. Sejenak wajah manisitu terdiam, ia tampak jauh  lebih cantik dengan gaun muslimahnya.
"Kenapa Allah memberikan Ibu seperti itu pada Cathy ya? yang Beliau fikirkan hanyalah dunia, beda jauh dengan Ayah, yang selalu berorientasi ke akhirat. Seandainya Ibuku seperti Ibumu Nisa.. Ayu.. alangkah bahagianya aku!. Cathy jadi menyesal punya Ibu.."
Sebelum sempat menghabiskan kalimatnya, Ayu buru-buru menceramahinya, "Jangan begitu, Cathy.. walau bagaimanapun ia adalah Ibu yang mengandung dan membesarkanmu.."
Cathy membela diri, "Siapa suruh mengandung dan membesarkanku? kenapa nggak dibiarkan mati aja sekalian?.., Beliau lebih senang anaknya diazab Allah daripada selamat. Apakah Itu Ibu namanya?!."
Nisa berusaha melerai kedua sahabatnya. "Daripada bertengkar, kita pergi aja yuk?, belanja, baca buku." Setelah pamit pada orangtua Cathy, merekapun pergi.
                        *****
Di toko buku, mereka bertiga tampak asyik memilih bacaan kesukaan masing-masing. Nisa dan Ayu ke rak buku Islami, dan Cathy ke rak majalah. Setelah agak lama terbuai dalam lautan pena, Cathy mendekati Nisa, ia geleng-geleng kepala melihat buku yang dibaca sahabatnya, Tafsir Qur'an, wuih.. mengerikan, baginya jangankan membaca, membayangkan isinya saja sudah membuatnya pusing.
Sejenak mata bundar itu terpendar pada sebuah buku,
"Derita Nanda, Apa Salahku Hingga Ibu Tega Membunuhku?!"
Hatinya berdebar membaca judulnya, secepat kilat jemari kecil itu menangkap, ingin tahuisinya. Setelah beberapa saat, buru-buru ia menutupnya kembali. Jantung Cathy berdetak lebih cepat, ia mengurut dada, "Astaghfirullaah.." Buku itu berisi kekejaman seorang Ibu yang tega membunuh anaknya sendiri karena takut miskin, sejenak ia ingat Ibunya, "Makasih Ya Allah, Engkau memberiku Ibu yang jauh lebih baik," bathinnya. Tiba-tiba Nisa dan Ayu mengagetkan dari belakang.
Sampai di sini, mereka berpisah, Ayu ada acara keluarga. Sementara Cathy ikut Nisa ke supermarket. Gadis manis itu tampak bingung hendak membeli apa, karena semua kebutuhan sudah dibeli Ibu. Iseng diambilnya saja makanan kecil, coklat, kacang, kue-kue. Tanpa sengaja ia melihat isi keranjang belanjaan Nisa, susu tanpa lemak, gula rendah kalori, buah-buahan, ia terheran-heran.  "Kurus-kurus kok diet sich Nisa?, nggak takut kekurangan gizi?!," Nisa tersenyum. "Susu dan gula ini untuk Ibu, Beliau dapat gejala kencing manis". Cathy terbelalak, "Untuk Ibu?, Beliaukan bisa beli sendiri?!." Pertanyaannya tak digubris Nisa, iapun tak memerlukan jawaban. Sesaat ingatan Cathy melayang pada buku yang dibacanya barusan, sejenak ia termenung, mulai mengingat-ingat kesukaan Ibunya. Minuman serat yang kerap dipromosikan TV diambilnya.
                         *****
Ada seribu satu macam rasa yang sulit diungkap Cathy saat berada di rumah Nisa. Rumah itu tidak semewah rumahnya, malah cenderung sederhana, tapi.. mengapa hatinya begitu tenang? tidak ada sesuatupun yang istimewa, tetapi.. mengapa begitu menyenangkan?, apakah karena ada seorang wanita teduh yang layak di sebut ibu?. "Malam ini aku bobok sini ya?," kata Cathy memelas. "Boleh.. tapi harus ijin orangtua dulu..", ucap Nisa seraya tersenyum padanya. Wajah manis itu terlihat bahagia sekali mendengar jawaban Nisa. "Bentar ya.. Cathy.." Nisa berlalu meninggalkannya sendiri.
Di kamar sohibnya yang kecil, kembali ia merasakan sesuatu yang sulit diungkap, Cathy menatap lekat ke sekeliling ruangan. Ada seperangkat pakaian shalat, tasbih, Al Qur'an, tergeletak rapi di atas tikar permadani. Meja kerja dan deretan buku-buku Islami. Sementara dinding putih itu dibiarkan kosong, hanya dihias kaligragi Allah dan Muhammad.
Perlahan ia merebahkan diri, capek seharian berjalan. Ketika hendak mengambil bantal, ia melihat secarik kertas terlipat rapi, rasa ingin tahu mengalahkan segalanya, cepat dibukanya lipatan kertas itu, ternyata e-mail dari seorang wanita. Isi surat itubiasa-biasa saja, namun..  ketika ia sampai pada baris ke limabelas.
Dulu.. aku sempat berprasangka buruk pada Allah,
Nisa... Aku merasa Allah nggak sayang padaku, aku merasa Allah nggak pernah memberiku kebahagiaan dalam hidup.
Sejak umur 5 tahun, kedua orangtuaku bercerai.. kami 4 bersaudara terpencar, ada yang diambil orang lain. Aku dan adikku yang bungsu (perempuan) tinggal dengan ayah dan ibu tiri, sedang adik yang nomor 2 ikut ibu kandung. Aku tinggal dan dididik Ibu tiri yang subhanallah.. baik dan sayang sekali padaku. (Beliau sekarang sudah almarhum)
Ayah nggak kerja lagi, untuk biaya hidup sehari-hari, ibu tiriku berjualan sayur mayur gendongan. Aku tak ingin membebani mereka, sehingga kuputuskan untuk tinggal dengan ibu kandungku, Beliaulah yang membiayai aku sekolah.
SMA kelas tiga, tahun 1987, aku dan 2 adik perempuanku diusir dari rumah (waktu itu aku baru pulang dari bimbingan belajar kira-kira jam 19.30), buku-buku pelajaranku habis disobek-sobek ibu, bahkan pada saat itu Beliau marah sambil mengacung-acungkan sebilah kapak mengancam kami.
"Keluar kamu anak-anak!, kalau tidak.. ibu bunuh kamu satu-satu!,"
Malam itu juga aku dan adik-adikku menginap di rumah tetangga depan rumah. Aku bingung saat itu, Sa.. kemana aku dan adik-adik harus pergi? kalau ke rumah ayah.. pasti kami akan jadi beban mereka. Ku coba tinggal di rumah Om (adik Ibu kandung), tapi.. istrinya keberatan kami tinggal di rumahnya dengan alasan ekonomi, padahal saat itu aku sudah bilang bahwa hanya butuh tempat berteduh pada saat malam saja, sedangkan masalah makan, kami akan berusaha cari sendiri, tapi istrinya tetap tak peduli.
Akhirnya aku ke rumah tetangga yang tidak jauh dari rumah Omku, Beliau mau menerima kami, sebagai imbalan aku bekerja untuk mereka, dari mulai ngurus rumah sampai mengurus anaknya, pokoknya sebelum mereka bangun, aku sudah masak dan nyuci. Aku diberi upah tiap hari Rp. 3000,- untuk ongkos sekolah, makan dikasi oleh yang punya rumah. Yang terfikir di benakku cuma satu, aku harus sekolah terus bagaimanapun caranya, asal aku tetap di jalan yang Allah perbolehkan.
Alhamdulillah Sa.., aku diterima di D III-FMIPA UI jurusan matematika (beasiswa dengan ikatan dinas dari Depdikbud). Waktu aku baca pengumuman UMPTN di Kompas dan tahu diterima di UI, aku coba hubungi Ibu untuk minta bantuan Beliau mengenai biaya buku, kost, danmakanku, tetapi.. sampai di rumahnya, pintu pagar itu  tak pernah dibukanya. Beliau hanya mengintip dari celah gorden, dan menyuruh pembantunya menyerahkan secarik kertas,
Segeralah menjauh dari pintu gerbang rumah ini, anak-anak!, aku tidak mau kalian kunjungi!
Kami kapok??? nggak Nisa.. aku dan adik perempuanku tetap sering nengokin Ibu meskipun akhirnya kami Cuma bisa berdiri saja di depan pintu gerbang sambil kehujanan dan kepanasan.
Dalam hati, aku suka menyalahkan Allah, kenapa Dia memberikan kami ibu seperti ini? kenapa Dia membiarkan keluarga kami berantakan seperti itu? yach.. pokoknya segala ketidakpuasan kutumpahkan pada-Nya. Kesulitan hidup terus berlanjut selama aku kuliah, tapi aku yakin, selama aku tidak melanggar larangan-Nya, Allah pasti membantuku.
Alhamdulillah, aku selesai kuliah tepat waktu dan langsung diangkat jadi pegawai negeri di lingkungan SMAN 39 Jakarta. Tahun 1994 aku menikah, dan masya Allah Sa.. penderitaanku ternyata tak sampai di sini..
Mertuaku termasuk orang yang meterialistik, setiap sesuatu selalu diukur dengan uang, tuntutannya agar aku dan suami yang menanggung semua kebutuhan rumah tangganya. Masya Allah Sa.. ibunya minta kami membiayai adik-adiknya sekolah, sementara gajiku saat itu baru Rp. 114.900,- dan suamiku Rp. 85.000,-/bulan dengan uang makan Rp. 2.500,-/hari kerja, tapi.. aku bilang pada suami bahwa aku nggak keberatan, kita berikan apa yang masih bisa kita berikan. Bagiku yang terpenting, suamiku punya tanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya.
Ibu dan ayah mertuaku masih belum puas juga.. sampai-sampai Beliau seperti penjajah dalam bahtera kami. Beliau ingin mengatur segalanya, bahkan anak-anak diajarinya berkata-kata kasar pada orangtua, diajarinya berpola hidup konsumtif, tapi alhamdulillah.. dengan pendekatan ke anak-anak, aku coba mengarahkan mereka pada kehidupan yang Allah suka, sederhana, nggak berlebihan, membeli sesuatu kalau emang sangat dibutuhkan.
Lama-kelamaan sikap mertuaku sangat menganggu fikiranku, Sa.. omongannya ke setiap tetangga yang ditemuinya bikin telingaku panas, aku nggak betah lagi tinggal serumah dengan mereka. Beliau selalu bercerita ke tetangga bahwa ibuku bekas pelacur, dan akupun kalau tidak dinikahi anaknya, sudah jadi pelacur seperti ibuku.. masya Allah.. aku bisa tahan kalau cuma aku yang mereka hina dan caci maki, tapi kalau mereka menghina ibuku, aku nggak rela! meskipun ibuku kasar sama aku.
Akhirnya, aku kompromi sama suami untuk pindah saja. Ternyata... suamikupun sudah lama ingin mengajakku pindah, tapi.. karena dulu aku yang menyarankan tinggal di situ (dengan pertimbangan daripada uangnya untuk bayar kontrakan, lebih baik untuk adiknya sekolah).
Kami pindahpun ekspansi mereka nggak berhenti, Sa.. yach.. pokoknya hal itu berlangsung terus sampai akhirnya Allah menghendaki sesuatu perubahan pada kami. Aku diberinya kesempatan kuliah lagi, aku kenal milis Islam ini, dan aku sadar ternyata Allah saying padaku, Sa.. diberikan-Nya aku ladang amal yang sangat banyak, dengan hadirnya ibuku dan mertuaku yang sikapnya masya Allah dalam hidupku. Aku merasa malu Sa.. selama ini aku selalu berburuk sangka pada-Nya, apalagi kalau aku baca terjemahan surat Ar Rahman, masyaAllah  Sa.. aku bener-bener malu.. yach, nikmat mana lagi yang mau aku dustakan?..  
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Salam sayang selalu
Puspa Thea

Sehabis membaca surat itu, ada getar kerinduan di hati Cathy pada sosok yang akhir-akhir ini dimusuhinya. Betapa sayangnya Allah telah menganugerahinya seorang ibu yang tak pernah mau membunuhnya, mengusirnya dari rumah, ataupun membiarkannya kehujanan dan kepanasan. Nikmat Allah yang mana lagi yang harus aku dustakan?, desir hatinya.
Sesaat kemudian ia tertegun melihat sosok penuh keibuan di balik lipatan terakhir surat, Subhanallah.. mata itu bening seperti kaca, Qalbunya yang bersih memancarkan cahaya keseluruh wajahnya. Puspa Thea, itukah namanya?
Sayup-sayup Cathy mendengar telapak kaki melangkah, secepat kilat ia merapikan segala sesuatu. "Silahkan di minum Non Cathy.., maaf ya kelamaan, tadi Nisa masak air dulu..," Cathy menyentuh cangkir hangat yang disuguhkan Nisa, Ya Allah.. ibu selalu membuatkan coklat susu untukku, katanya lirih.
"Nisa.. a ku ma u pu lang..," Ucapnya terpatah, Nisa terheran-heran. "Lho.. katanya mau bobok sini?!". Nisa mengiringi kepergian sahabatnya. Ia tak habis fikir kenapa secepat itu Cathy berubah.
                      *****
Dalam perjalanan menuju tempat kerja, Nisa hampir tak percaya dengan penglihatannya. Ia melihat Cathy begitu mesra dengan Ibunya di pasar tradisional. Jari-jari tangan mungil itu tampak penuh menenteng belanjaan, sesekali sang ibu berusaha menolongnya, tapi Cathy tidak mau, ia terus mengelak dan tersenyum. Sesampai di kantor ia menelpon Cathy. Gadis itu terdengar ceria sekali, tak sepatah katapun bernada keluh kesah mengenai ibu yang dulu selalu keluar dari mulutnya. Apakah gerangan yang terjadi?
                        *****
"Masuk, Nisa..", sapa Ibu Cathy ramah setelah menjawab salamnya. Kali ini, suasana rumah itu begitu berbeda dari sebelumnya. Di pekarangan terlihat Ayah Cathy membaca koran dengan asyiknya,
"Langsung ke dalam aja, ya.. Cathy sedang istirahat, kasihan dia.. dari pagi bantuin Tante kerja" Ujar wanita itu dengan senyum merekah, Beliau tampak begitu bahagia. Nisa melangkahkan satu-satu kakinya supaya Cathy tak terusik, sayup-sayup terdengar merdu suara gadis itu,
Ya Allah Tuhanku, anugerahilah aku kemampuan untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan (anugerahi pula aku kemampuan) untuk beramal shaleh yang Engkau ridhai, serta jadikanlah kebajikan bersinambung untukku pada anak keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. (QS. Al AhQaaf 46:15)
"Eh, Nisa.. ". Ia tersipu malu, tak berapa lama kemudian mereka larut dalam perbincangan panjang mengenai perubahan yang terjadi.
"Sebening kaca.. Nisa, bisakah aku memilikinya?" Nisa terkesima mendengar penuturan sahabatnya, ternyata Cathy telah membanya surat Mba' Puspa Thea, Melati yang berhati sebening kaca. Melalui goresan pena wanita itu, Allah menitipkannya hidayah.
                        *****
Nisa mencek inboxnya, banyak surat bertebaran di sana, beberapa Melati baru bermunculan menyapanya ramah. Tetapi, mengapa tak ada satupun surat dari Mba' Pupu?. Kerinduan Nisa semakin menyesak dada. Perlahan ia mulai menggerakkan jemari tangannya menekan tut-tuts komputer, menulis sepucuk surat.
Assalaamu'alaikum Warahmatullaah Wabarakaatuh
Bagaimana khabarmu, Mba’? si kecil dan suami tercinta
Nisa do'akan semoga kalian semua sehat, senantiasa dalam lindungan Allah Swt. Maafkan aku Mba', tanpa sengaja salah satu suratmu terbaca sahabatku. Tapi.. tanpa sengaja pula engkau telah berdakwah, melalui bahasa Qalbumu yang terukir indah di atas pena itu..
Mba'.. Nisa rindu sekali, rindu cerita-ceritamu.. rindu kekayaan bathinmu. kapan ya.. Allah mempertemukan kita?
Wassalaamu'alaikum Warahmatullaah Wabarakaatuh
Salam manis dan sayang
Adikmu, Nisa.

aytafornaraindream.blogspot.com. Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

_
Valentine's day help select