eka_fajar

MALAM ini hujan turun lagi, menyirami hatiku dan Bunda yang telah lama kekeringan oleh kenangan. Kenangan yang ingin kulupakan bersama Bunda, kenangan yang telah melukai hati kami. Luka yang mampu mencekik leher kami berdua dan akhirnya membunuh kami.
“Tor cepat masuk. Hujannya semakin lebat. Nanti kamu masuk angin,” teriak Bunda dari balik bambu yang kusebut rumah. “Iya, sebentar lagi Bun, Toro masih pengin di sini,” ujarku menenangkan Bunda. Aku mulai melamun, membayangkan betapa buruknya nasibku dan Bunda. Itu semua terjadi karena ayah. Ayah yang ingin kubunuh suatu saat nanti untuk membalas sakit hati. Ayah telah membuang kami ke jalan hanya untuk seorang janda beranak satu.
Hal indah yang kualami direnggut tanpa sisa. Seandainya saat itu aku tahu apa yang terjadi, aku ingin mencekik ayah hingga tak bernyawa lagi. Sayang, saat perceraian tersebut terjadi, aku masih berusia tiga tahun dan aku tak tahu apa arti perceraian. Hingga akhirnya, kini kutahu, perceraian itu membawa kehancuran untuk hidupku sekarang.
“Toro ayo masuk. Anginnya udah semakin kencang, Tor,” teriak Bunda sekali lagi. Bunda berhasil membuyarkan lamunanku. “Iya Bunda, Toro masuk,” kataku sambil melangkahkan kaki masuk ke rumah. Kutatap wajah tua Bunda, tanpa kusadari Bunda juga menatapku.
“Kenapa kamu Tor, kok ngeliat Bunda kayak gitu,” tanya Bunda heran.
“Toro cuma bangga sama Bunda. Toro janji selalu sayang dan jagain Bunda.”
“Sudahlah, cepat tidur. Sudah malam,” kata Bunda sambil membuka pintu.
“Loh, Bunda mau ke mana?” tanyaku heran.
“Bunda mau mengambil air wudu,” jawab Bunda bersahaja.
Melihat wajah Bunda seperti itu, aku semakin geram kepada ayah. Ingin rasanya kumaki saat ini. Sebenarnya, aku merasa iri kepada kalian semua yang hidup bahagia dengan kehangatan dalam keluarga. Sementara itu, aku dan Bunda hanya mampu berdiri di kehidupan kelam. Namun, aku harus bertahan demi Bundaku tercinta. Kutatap wajah Bunda saat dia bersujud kepada Ilahi. Tanpa terasa, air mata ini terjatuh. Semakin deras, sederas hujan di luar sana. Kucoba membendung air mataku, tapi tak bisa.
“Kamu kenapa, Tor?” tanya Bunda yang tanpa kusadari telah memelukku.
“Aku sayang Bunda. Aku janji membalas perbuatan ayah suatu saat nanti,” teriakku memecah keheningan. Bukan maksudku membentak Bunda. Tapi, aku emosi, emosi dan benar­-benar emosi jika ingat kata “ayah”.
“Sudahlah, Tor. Dia itu ayah kamu. Kamu nggak boleh menghujat ayahmu sendiri. Istigfar, Tor. Kalau sampai terulang, Bunda akan marah sama kamu!” bentak Bunda kepadaku. Aku tertunduk, tanganku merangkul tubuh rapuh Bunda. Aku menangis di pundaknya. ***

Label: | edit post
0 Responses

Posting Komentar

aytafornaraindream.blogspot.com. Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

_
Valentine's day help select